Probolinggo — Deru alat berat telah lama hilang dari lahan bekas tambang di Desa Klampokan, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo. Namun bukan kehijauan yang tumbuh, melainkan tanah rusak dan lubang-lubang menganga yang ditinggalkan begitu saja oleh pengelola tambang. Kondisi ini memicu kemarahan warga dan memaksa DPRD Kabupaten Probolinggo turun tangan.
Rabu (28/5), Komisi III DPRD Probolinggo mendatangi lokasi. Sidak tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III, Muhammad Al Fatih, yang menyebut kondisi tambang “memprihatinkan dan jauh dari standar reklamasi lingkungan”. Menurutnya, bekas tambang milik CV Tulus Karya Bersama itu tak menunjukkan upaya reklamasi seperti yang diamanatkan peraturan.
“Yang kami temukan hanyalah lahan rusak yang dibiarkan begitu saja. Ini bukan hanya masalah administratif, tapi juga kelalaian terhadap lingkungan hidup,” ujar Lora Fatih saat diwawancarai usai kunjungan.
DPRD mengaku akan menindaklanjuti temuan ini secara serius. Komisi III bahkan mengancam akan melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan menempuh jalur hukum jika kewajiban reklamasi tidak segera dipenuhi.
Baku Tuding antara Desa dan Pengelola
Namun, pasca sidak justru memunculkan babak baru: saling tuding antara pihak pengelola tambang dan Pemerintah Desa Klampokan.
Dalam sambungan telepon yang sempat disaksikan langsung oleh anggota dewan, pengelola tambang Louis Hariona menyatakan bahwa tanggung jawab reklamasi telah diserahkan kepada pemerintah desa. “Reklamasi itu urusan kepala desa, mereka yang kita gaji dan fasilitasi,” kata Louis seperti terekam dalam laporan media.
Tak hanya itu, Louis menyiratkan ancaman jika hanya perusahaannya yang dijadikan kambing hitam. “Saya bisa jurumuskan desanya juga,” ujarnya.
Pernyataan ini langsung dibantah oleh Kepala Desa Klampokan, Bahriatun Nikmah. Ia menegaskan bahwa pihak desa hanya sebatas mengawal dan mengawasi, bukan bertanggung jawab penuh atas reklamasi. “Kami bukan pelaksana reklamasi, itu urusan perusahaan. Kami hanya mengawasi,” ujar Bahriatun.
Pengelola: Reklamasi Sudah 90 Persen
Merasa disudutkan, Louis kemudian memberikan klarifikasi melalui pernyataan tertulis. Ia membantah bahwa pihaknya menelantarkan lahan. Menurutnya, lebih dari 90 persen proses reklamasi telah dilakukan, dan hanya sebagian kecil area yang tertunda karena alasan teknis.
“Kami sudah siapkan alat berat, SDM, dan pendanaan untuk reklamasi. Bahkan kami koordinasi dengan desa,” kata Louis. Ia menyebut keterlambatan ini bukan pembiaran, melainkan miskomunikasi soal tanggung jawab di lapangan.
Namun, dewan tetap menaruh curiga. “Kalau memang sudah 90 persen, kenapa yang kami lihat hanya lahan rusak?” ujar Sekretaris Komisi III, Deni Ilhami.
Warga Menjerit, Reklamasi Diharap Nyata
Di sisi lain, masyarakat Klampokan mulai kehilangan kesabaran. Lahan yang dulunya bisa ditanami kini tandus dan penuh batu. Beberapa warga bahkan mencoba memperbaiki lahan secara swadaya, namun hasilnya tak sebanding. “Dulu bisa ditanami jagung atau ketela, sekarang mau ditanami apa?” keluh salah seorang warga kepada media.
Warga mendesak agar DPRD dan pemerintah daerah memaksa pengelola tambang melakukan reklamasi secara menyeluruh. “Kami tidak mau melihat drama. Yang kami minta cuma reklamasi dijalankan, jangan cuma janji,” tambah warga lainnya.
Menanti Ketegasan Pemerintah Daerah
Kini bola panas reklamasi tambang Klampokan ada di tangan pemerintah daerah dan provinsi. Sementara pengelola dan desa saling menuding, masyarakat terus dirugikan oleh kerusakan lingkungan yang tak kunjung diperbaiki.
Komisi III DPRD menjanjikan pengawasan berkelanjutan dan mediasi antara pihak-pihak terkait. Namun publik bertanya-tanya, apakah akan ada tindakan nyata atau semua akan berakhir sebagai tontonan saling salah yang tak berujung?
— Laporan gabungan dari Radar Bromo, Warta Bromo, dan Detik Nusantara