Gunggungan Lor, Probolinggo – 13 Juli 2025
Suasana di Dusun Cocong, Desa Gunggungan Lor, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo, tiba-tiba berubah tegang pada Minggu pagi. Puluhan warga keluar rumah, membawa balok kayu, batu, dan portal seadanya. Mereka menutup akses jalan tambang di tengah kampung—jalan yang selama ini dilalui truk-truk pengangkut material tambang dari sebuah lokasi di lereng perbukitan desa. Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini peringatan keras.
“Air sering naik ke halaman, dan pernah kandang milik tetangga saya hanyut terbawa arus,” ujar Waheda, perempuan paruh baya yang berdiri di tepi jalan berdebu itu. Rumahnya tak jauh dari lokasi tambang.
Warga menyebut tambang itu mulai aktif sejak lebih dari setahun terakhir. Awalnya hanya beberapa truk lalu lalang, namun perlahan kawasan perbukitan mulai digerus. Debu beterbangan, air sumur warga menipis, dan setiap musim hujan datang, air tak lagi menyerap ke dalam tanah. “Sekarang air hujan langsung turun deras. Sumur kami kering, tapi banjir sering,” tambah Samsuri, warga lainnya sambil menunjukkan sumurnya yang nyaris kosong.
Di balik keresahan itu, muncul dugaan bahwa aktivitas tambang tersebut belum mengantongi persetujuan penuh dari warga, bahkan tidak jelas status perizinannya. “Kami tidak tahu ini legal atau tidak. Yang jelas kami tidak pernah diajak musyawarah atau diberi tahu siapa yang menggali, siapa yang untung,” ujar Faisol Rizal, Ketua RT 1 Dusun Cocong.
Masalah tak berhenti di dampak lingkungan. Jadid dan Wahid, dua warga yang mengaku pemilik lahan yang kini berubah menjadi lokasi tambang dan jalan akses truk, menyatakan bahwa proses reklamasi yang pernah dijanjikan pihak pengelola tambang tak kunjung dilakukan. “Katanya bulan April 2025, setelah batu habis, mau ditutup dan ditanami kembali. Tapi sampai hari ini tidak ada apa-apa,” tutur Wahid. Ia bahkan menyebut sebagian tanah miliknya belum pernah dibayar, meski lahan milik warga lain disebut sudah dibayar sebagian. “Perjanjian tertulis juga tidak ada. Sekarang jalan sudah rusak, lahan saya dipakai, tapi kompensasi tidak jelas.”
Warga menduga, proyek ini dikerjakan oleh pihak swasta yang tidak terbuka kepada masyarakat. Sejauh ini tidak ada papan informasi proyek, tidak ada sosialisasi publik, dan tidak ada jejak izin tambang yang diumumkan resmi di balai desa. “Semua diam. Kami juga takut bicara keras-keras, tapi kalau lingkungan rusak, kami juga tidak bisa tinggal diam,” kata Faisol.
Setelah warga memblokir jalan, dua petugas datang ke lokasi. Salah satunya berseragam bertuliskan “Panji”, yang lainnya berpakaian sipil dan disebut-sebut warga sebagai Pak Dwi dari Polsek Pakuniran. Saat ditanya mengenai tanggapan kepolisian atas konflik ini, keduanya menolak berkomentar. “Langsung ke Kapolsek saja ya. Kami belum bisa kasih keterangan. Mau konfirmasi dulu,” ujar salah satu dari mereka sebelum meninggalkan lokasi.
Pihak kepala desa Gunggungan Lor, yang menjadi pihak administratif paling dekat dengan warga, hingga kini belum memberikan respons. Panggilan telepon yang dilakukan oleh beberapa warga dan wartawan tidak diangkat.
Situasi ini meninggalkan pertanyaan besar. Siapa sebenarnya pemilik tambang? Apakah tambang ini legal? Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan ketidakjelasan kompensasi lahan?
Tanpa kejelasan dari pihak berwenang dan tanpa perlindungan hukum yang berpihak pada warga, Dusun Cocong hari ini berdiri di persimpangan: antara kebutuhan pembangunan dan hak hidup atas lingkungan yang layak. Jalan tambang kini tertutup, namun masalah yang mereka hadapi masih terbuka lebar.
Pewarta : Efendi
Editor : ika