masukkan script iklan disini
Bulan Muharram seringkali dianggap sebagai bulan yang penuh berkah dan rahmat, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Namun, di balik kesucian bulan ini, ada fenomena yang cukup memprihatinkan: eksploitasi kaum miskin dan yatim piatu demi pamor dan elektabilitas.
Saat ini, kita sering melihat dokumentasi pemberian santunan yang tersebar luas di media sosial. Foto dan video yang memperlihatkan anak-anak yatim dan orang lanjut usia menerima bantuan dengan wajah penuh haru, namun ada yang terasa janggal. Bukan hanya karena mereka yatim atau miskin, tetapi karena penderitaan mereka dijadikan tontonan dan alat transaksi demi meraih popularitas.
Mungkin maksud awalnya adalah untuk menunjukkan empati dan kepedulian, tetapi apakah harus dengan cara yang merendahkan martabat mereka? Apakah tidak ada cara lain untuk pencitraan di media sosial selain menjatuhkan harga diri para yatim dan lansia?
Lebih miris lagi, saat santunan berlangsung, sering kali dinyanyikan lagu-lagu yang mengolok-olok anak yatim. Ini adalah bentuk eksploitasi yang tidak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin kita berharap mereka merasa dihargai dan dicintai jika cara kita menunjukkan kepedulian justru dengan merendahkan mereka?
Kita perlu merenungkan kembali cara kita berbagi dan menunjukkan kepedulian. Pemberian santunan haruslah didasari dengan niat tulus untuk membantu, bukan untuk mencari popularitas atau elektabilitas. Semoga ke depan, kita bisa lebih bijak dalam beramal, menjaga perasaan mereka yang kita bantu, dan tidak menjadikan mereka objek eksploitasi.
Penulis : Mahfud Nurul Islam M.Ag
Editor : Abraham