Iklan

Car News

Dosa Besar KONI Probolinggo: Di Mana Uang Atlet?

Rabu, 15 Oktober 2025, Oktober 15, 2025 WIB Last Updated 2025-10-16T02:07:41Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Ada ironi yang pahit di balik setiap medali emas yang dipersembahkan atlet Kabupaten Probolinggo. Di podium mereka mengibarkan nama daerah, tapi di rumah mereka menunggu janji yang tak kunjung ditepati. Janji bonus. Janji penghargaan. Janji yang kini terasa seperti utang kehormatan yang tak dibayar.

Pemerintah Kabupaten Probolinggo sudah menggelontorkan Rp 4,4 miliar untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pada tahun 2025. Dari jumlah itu, sekitar Rp 1,9 miliar lebih disebut-sebut untuk pembinaan cabang olahraga. Di atas kertas, ini tampak seperti langkah strategis-sebuah pergeseran fokus dari belanja seremonial ke arah pembinaan prestasi. Namun, di lapangan, hasilnya justru sebaliknya: bonus atlet tak kunjung cair, dan sejumlah cabang olahraga justru megap-megap dengan anggaran yang dipangkas.

Paradoks Anggaran dan Janji yang Hilang

Mari buka datanya.

Dalam dokumen resmi KONI Kabupaten Probolinggo tahun 2024-2025, terlihat bahwa dana untuk kickboxing, salah satu cabang penyumbang medali Porprov, dipotong separuh-dari Rp 60 juta menjadi Rp 30 juta. Tidak ada alasan logis kenapa pemotongan ini dilakukan, apalagi ketika cabang tersebut justru berprestasi. Jika dulu anggarannya Rp 60 juta dan yang keluar hanya Rp 30 juta, kemana separuh sisanya?

Lebih jauh, tersiar kabar bahwa Rp 1 miliar yang seharusnya digunakan untuk reward atlet berprestasi justru tak jelas nasibnya. Hingga kini, banyak atlet masih menunggu hak mereka. Mereka dijanjikan, tapi tak pernah diberi kepastian. Beberapa bahkan harus mendengar kabar dari luar bahwa dana KONI telah cair penuh. Ini bukan sekadar salah urus-ini adalah bentuk pengkhianatan moral terhadap para pejuang olahraga.

Anatomi “Efisiensi” yang Mencurigakan

Dalam laporan anggaran 2025, disebutkan bahwa persentase dana untuk cabang olahraga naik drastis dari 49,8% ke 71%. Sekilas terlihat positif, seolah KONI lebih serius menata pembinaan atlet. Tapi jika ditelusuri, total dana untuk cabor justru menurun dari Rp 2,24 miliar menjadi Rp 1,96 miliar.

Artinya, bukan pembinaan yang diperkuat, melainkan angka persentase yang dimanipulasi secara matematis. Ini bukan efisiensi-ini kamuflase anggaran.

Seperti menebar kabut di atas jurang, data yang seharusnya menjadi instrumen akuntabilitas justru dijadikan selimut penenang publik.

Padahal di balik “efisiensi” itu, atlet masih menunggu uang peluh mereka, dan pelatih masih berjuang dengan uang pribadi demi mengirim atlet ke ajang berikutnya.

KONI dan Luka Kepercayaan Publik

KONI seharusnya menjadi rumah bagi semangat sportivitas, bukan arena kecurigaan. Tapi kini publik justru menatap lembaga itu dengan kening berkerut. Bagaimana bisa lembaga yang mengelola miliaran rupiah terlihat gagap dalam hal paling mendasar: membayar hak atletnya sendiri?

Apakah uangnya tersesat dalam birokrasi yang berliku? Ataukah ada tangan-tangan yang terlalu lincah mengatur prioritas?

KONI Kabupaten Probolinggo mestinya sadar: kepercayaan publik bukan angka, tapi sikap. Begitu janji atlet diingkari, semua klaim transparansi menjadi kosong. Dan ketika atlet kehilangan kepercayaan pada lembaganya, maka seluruh sistem pembinaan akan runtuh seperti rumah tanpa pondasi.

Transparansi: Bukan Pilihan, tapi Kewajiban

Pemerintah daerah dan KONI tidak bisa terus bersembunyi di balik kata “proses administrasi”. Publik berhak tahu ke mana setiap rupiah itu mengalir.

Kapan dana cair, berapa yang benar-benar diterima cabang olahraga, dan berapa yang disalurkan kepada atlet. Semua harus dibuka ke publik, karena dana itu bukan milik pribadi itu uang rakyat yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk prestasi.

Sudah saatnya KONI berhenti bersembunyi di balik slogan “Demi Kemajuan Olahraga”.

Kemajuan apa yang bisa diharapkan jika atlet justru merasa ditipu oleh sistem yang seharusnya membesarkan mereka?

KONI tidak butuh klarifikasi panjang. Yang dibutuhkan hanyalah kejujuran sederhana:

Uang Rp 4,4 miliar itu dipakai untuk apa, dan mengapa atlet masih belum menerima hak mereka?

Dosa Tak Kasatmata

Setiap kali bendera Kabupaten Probolinggo berkibar di arena, ada peluh, air mata, dan pengorbanan di baliknya. Tapi semua itu menjadi sia-sia jika para pengurus olahraga justru menodainya dengan kebohongan anggaran dan janji palsu.

Inilah dosa besar KONI: bukan karena uang, tapi karena mengkhianati semangat juang mereka yang berjuang tanpa pamrih.

Dan seperti halnya setiap dosa publik, pertanggungjawabannya tak akan selesai dengan klarifikasi di atas podium, tapi di hadapan masyarakat yang mulai muak melihat atlet disanjung di panggung, namun dilupakan di meja anggaran.

Komentar

Tampilkan

Terkini