Pernyataan Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Oka Mahendra Jatikusuma, dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 28 Mei 2025 lalu, menyisakan ironi pahit di tengah semangat demokrasi yang seharusnya tumbuh subur di lembaga legislatif. Dengan enteng, Oka melarang wartawan mondar-mandir saat meliput jalannya rapat, kecuali mereka berasal dari media resmi DPRD.
Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi sesungguhnya mencerminkan sikap arogan terhadap kebebasan pers dan ketidaktahuan terhadap prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik.
Mari kita tegaskan satu hal: DPRD adalah lembaga publik yang dibiayai oleh uang rakyat, bukan kerajaan kecil milik segelintir elite legislatif. Rapat-rapatnya, terutama yang bersifat dengar pendapat dengan masyarakat, bukan ruang rahasia yang boleh dikuasai oleh media internal DPRD semata.
DPRD Tak Punya Hak Sensor
Dalam sistem demokrasi, pers bebas menjalankan tugas jurnalistik di ruang publik, termasuk ruang sidang DPRD, selama tidak mengganggu jalannya forum atau melanggar tata tertib yang sah secara hukum. Bahkan, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan secara eksplisit bahwa tugas wartawan tidak boleh dihambat oleh siapa pun, termasuk oleh pejabat legislatif.
Apalagi, dalam konteks rapat bersama PAPDESI, tidak ada pengumuman resmi bahwa forum bersifat tertutup. Lalu atas dasar apa Oka membatasi gerak wartawan? Apakah ada ketakutan bahwa proses dialog akan terdokumentasi dengan tidak menguntungkan? Ataukah ini cara halus untuk memfilter pemberitaan agar hanya yang “aman” yang boleh keluar ke publik?
Jika hanya media resmi DPRD yang boleh leluasa merekam dan mendistribusikan informasi, maka kita sedang menyaksikan model baru sensor kekuasaan di tingkat daerah.
DPRD Tak Butuh Tukang Liput, Tapi Pengawas Rakyat
Jurnalis bukan sekadar “penonton rapi” yang duduk diam di sudut ruangan. Mereka adalah pengawas independen yang mewakili kepentingan publik. Menyuruh mereka duduk diam dan tidak aktif sama dengan mematikan fungsi kontrol demokrasi.
Kebebasan pers bukanlah ancaman. Justru pembatasan pers adalah ancaman nyata terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Kita patut bertanya: mengapa Ketua DPRD begitu alergi terhadap gerak jurnalis? Apakah karena ada hal yang tidak ingin terekam? Atau karena Oka lupa bahwa ia sedang memimpin forum publik, bukan rapat keluarga?
Publik Harus Bersikap
Ucapan Oka Mahendra ini tidak boleh dianggap remeh. Ia mencerminkan pola pikir represif yang bertolak belakang dengan semangat reformasi dan pemerintahan terbuka. Jika hal semacam ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin ke depan DPRD akan menjadi ruang gelap tanpa jendela transparansi.
Sudah saatnya masyarakat sipil, organisasi pers, dan aktivis keterbukaan informasi menyampaikan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan yang tidak memahami hak dasar warga negara untuk tahu.
DPRD bukan milik partai. Bukan milik media internalnya. Dan bukan milik Oka Mahendra seorang. DPRD adalah milik rakyat. Titik.